Perang Salib adalah kumpulan gelombang dari pertikaian agama
bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291;
biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem
dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan
awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium
yang beragama Kristen
Ortodox Timur untuk melawan ekspansi dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia.
Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang
terjadi selama abad ke 16 di wilayah di luar Benua Eropa,
biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk
alasan campuran antara agama, ekonomi dan politik. Skema penomoran
tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci
selama Abad ke 11 sampai dengan Abad ke 13. “Perang Salib” lainnya yang
tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke 16 dan berakhir ketika iklim
politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang
merebut kekuasaan daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan
tentara Muslim saling bertukar ilmu pengetahuan.
Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik,
ekonomi dan sosial, yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai
masa kini. Karena konfilk internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa
ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya
dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium,
Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya
di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang
bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik,
dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa lain untuk
secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke
Tanah Suci. Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan
kekuatan-kekuatan politik pun mengakibatkan persekutuan antara satu
faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara kekuatan Tentara
Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim
dalam Perang Salib Kelima.
Situasi di Eropa
Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa
Barat sebelumnya pada Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium
di timur yang disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki.
Pecahnya Kekaisaran
Carolingian pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya
perbatasan Eropa
sesudah peng-Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slav dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata
yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain
dan meneror penduduk setempat. Gereja
berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax
Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi
para ksatria yang berpengalaman selalu mencari tempat untuk menyalurkan
kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas daerah kekuasaan pun
menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi Reconquista
di Spanyol
dan Portugal,
dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan
pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang
sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia
dalam kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.
Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu
kepausan bagi kaum Kristen Iberia
untuk memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar
maupun pengampunan bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran
tersebut. Maka, permintaan yang datang dari Kekaisaran Byzantium
yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk,
menjadi perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074,
dari Kaisar Michael VII
kepada Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada
tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada Paus Urbanus II.
Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang
intens yang merebak pada akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara
Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya, akan menerima sebuah salib
dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai
“tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi
Investiture, yang berlangsung mulai tahun 1075 dan masih
berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena kedua belah pihak yang
terlibat dalam Kontroversi
Investiture berusaha untuk menarik pendapat publik, maka masyarakat
menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang
dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan
publik pada masalah-masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh
propaganda keagamaan tentang Perang untuk Keadilan untuk mengambil
kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem
(dimana kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi
menurut ajaran Kristen) dan Antioch (kota Kristen yang pertama) - dari orang
Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah faktor penentu dalam hal
ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah berdosa
untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan
ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa
sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya
bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin masuk surga
pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi
adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat
itu. Suatu teori menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur
untuk Yerusalemlah “penebusan dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati
kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam pidato-pidatonya.
Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem,
maka orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan
“penebusan”. Teori yang lain menyebutkan bahwa jika seseorang telah
sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan dari dosa-dosanya
sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa
masuk Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor
inilah yang memberikan dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama
dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-12.
Situasi Timur Tengah
Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa
Arab
terhadap Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada
abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mempengaruhi penziarahan ke
tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara dan
masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu,
bangsa-bangsa di Eropa Barat tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang
berada jauh di Timur–sampai ketika mereka sendiri mulai menghadapi
invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen lainnya
seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum
Muslimlah yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan
Kekaisaran Byzantium yang beragama Kristen
Orthodox Timur.
Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada
Timur adalah ketika pada tahun 1009, kalifah Bani
Fatimiah, Al-Hakim
bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran Gereja Makam Suci (Church of The Holy Sepulchre). Penerusnya memperbolehkan
Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan
memperbolehkan para peziarah untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan
tetapi banyak laporan yang beredar di Barat tentang kekejaman kaum
Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para
peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam
perkembangan Perang Salib pada akhir abad itu.
Penyebab Langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I
kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium
dan menahan laju invasi tentara Muslim ke
dalam wilayah kekaisaran tersebut. Hal ini dilakukan karena sebelumnya
pada tahun 1071, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp Arselan
di Pertempuran Manzikert, yang hanya
berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan
tentara Romawi
yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis
dan Armenia.
Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan
Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik
Barat dengan gereja Orthodox
Timur, Alexius I
mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun,
respon yang didapat amat besar dan hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I.
Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk
mempertahankan Kekaisaran Byzantium,
akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem,
setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan
dinasti Fathimiyah
yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah
sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.
Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada
tahun 1095, para pangeran Kristen dari Iberia
sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia,
wilayah Basque
dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang
tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa Moor Toledo
kepada Kerajaan
Leon pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar. Ketidakbersatuan
penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen
yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk
dikalahkan. Mereka tidak mengenal hal lain selain bertempur. Mereka
tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan untuk dipertahankan. Para
ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan asing
yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak
sekehendak hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali
di lapangan pertempuran di Timur. Ahli sejarah Spanyol
melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia, dengan perasaan bahwa kebaikan yang
tertinggi adalah mati dalam pertempuran mempertahankan ke-Kristen-an
suatu Negara.
Perang
Perang Salib I
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa,
sebagian besar bangsa Perancis dan Norman,
berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina.
Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan
Raymond ini
memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil
menaklukkan Nicea
dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di
sini mereka mendirikan County
Edessa dengan Baldawin
sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea
dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di Timur,
Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul-Maqdis
(15 Juli 1099 M) dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya, Godfrey. Setelah
penaklukan Baitul-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya.
Mereka menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli
(1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli
mereka mendirikan County Tripoli, Rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya Syeikh Imaduddin
Zanki pada tahun 1144 M, penguasa Moshul dan Irak, berhasil
menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun
ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin
Zanki. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali Antiokhia
pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut
kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang
disambut positif oleh raja Perancis
Louis VII
dan raja Jerman
Condrad II.
Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat
oleh Syeikh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus.
Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya.
Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang
oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun
1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir.
Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem
pada tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran
Hattin, Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County
Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan
demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung
selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa.
Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad
dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan
Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan
menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.
Perang Salib III
Baitul Maq'dis
|
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib.
Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, tentara salib dipimpin
oleh Frederick Barbarossa
raja Jerman,
Richard
the Lionheart raja Inggris, dan Philip
Augustus raja Perancis memunculkan perang Salib III. Pasukan ini
bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan
Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa-saat itu merupakan
yang terbanyak di Eropa-melalui jalur darat, melewati Konstantinopel.
Namun, Barbarossa meninggal di
daerah Cilicia karena
tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan Philip. Sebelum
menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan
mendirikan Kerajaan
Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun
mereka berhasil merebut Akka yang
kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip kemudian balik ke
Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya
tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu
memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali
mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat
perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh
al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen
yang pergi berziarah ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.
Perang Salib IV
Pada tahun 1219 M, meleteus kembali peperangan yang dikenal dengan
Perang Salib periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II,
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina,
dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen
Qibthi. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyat, Raja Mesir dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik
al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain
Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil
melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim
bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, di masa
pemerintahan al-Malik
al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti
Mamalik yang menggantikan posisi Daulah
Ayyubiyyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars, Qalawun dan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Pada masa merekalah Akka dapat
direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1291 M. Demikianlah Perang Salib
yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol,
sampai umat Islam
terusir dari sana.
Kondisi Sesudah Perang Salib
Perang Salib Pertama melepaskan
gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang diekspresikan
dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi
yang menyertai pergerakan tentara Salib melintasi Eropa dan
juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen
Orthodox Timur.
Kekerasan terhadap Kristen
Orthodox ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel pada tahun 1024, dimana
seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya
serangan-serangan terhadap orang Yahudi,
pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang Yahudi dari
pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan
perlindungan di dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi,
massa yang beringas selalu menerobos masuk dan membunuh mereka tanpa
pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat
kepopuleran yang tinggi di masyarakat. Sesudah kota Acra jatuh untuk
terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah penghancuran bangsa Occitan (Perancis Selatan) yang berpaham Catharisme
pada Perang Salib Albigensian, ide
perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh
pembenaran lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang
terjadi di Katolik
Eropa.
Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Knights
Hospitaller. Sesudah kejatuhan Acra yang terakhir, orde ini
menguasai Pulau Rhodes dan pada abad
ke-16 dibuang ke Malta. Tentara-tentara Salib yang terakhir ini
akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun 1798.
Peninggalan
Benua Eropa
Perang Salib selalu dikenang oleh bangsa-bangsa di Eropa bagian Barat
dimana pada masa Perang Salib merupakan negara-negara Katolik Roma.
Sungguh pun demikian, banyak pula kritikan pedas terhadap Perang Salib
di negara-negara Eropa Barat pada masa Renaissance.
Politik dan Budaya
Perang Salib amat mempengaruhi Eropa pada Abad Pertengahan. Pada masa itu, sebagian besar benua
dipersatukan oleh kekuasaan Kepausan, akan tetapi pada abad ke-14,
perkembangan birokrasi yang terpusat (dasar dari negara-bangsa modern) sedang pesat di Perancis,
Inggris,
Burgundi, Portugal,
Castilia dan Aragon.
Hal ini sebagian didorong oleh dominasi gereja pada masa awal perang
salib.
Meski benua Eropa telah bersinggungan dengan budaya
Islam selama berabad-abad melalui hubungan antara Semenanjung Iberia
dengan Sisilia,
banyak ilmu pengetahuan di bidang-bidang sains, pengobatan dan
arsitektur diserap dari dunia Islam ke dunia Barat selama masa perang
salib.
Pengalaman militer perang salib juga memiliki pengaruh di Eropa,
seperti misalnya, kastil-kastil di Eropa mulai menggunakan bahan dari
batu-batuan yang tebal dan besar seperti yang dibuat di Timur, tidak
lagi menggunakan bahan kayu seperti sebelumnya. Sebagai tambahan,
tentara Salib dianggap sebagai pembawa budaya Eropa ke dunia, terutama
Asia.
Bersama perdagangan, penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan
sains baru mencapai timur atau barat. Kemajuan bangsa Arab
termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah
laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian
mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.
Perdagangan
Kebutuhan untuk memuat, mengirimkan dan menyediakan balatentara yang
besar menumbuhkan perdagangan di seluruh Eropa. Jalan-jalan yang
sebagian besar tidak pernah digunakan sejak masa pendudukan Romawi,
terlihat mengalami peningkatan disebabkan oleh para pedagang yang
berniat mengembangkan usahanya. Ini bukan saja karena Perang Salib mempersiapkan
Eropa untuk bepergian akan tetapi lebih karena banyak orang ingin
bepergian setelah diperkenalkan dengan produk-produk dari timur. Hal
ini juga membantu pada masa-masa awal Renaissance di Itali, karena banyak negara-kota di Itali yang sejak awal memiliki hubungan
perdagangan yang penting dan menguntungkan dengan negara-negara Salib, baik di Tanah
Suci maupun kemudian di daerah-daerah bekas Byzantium.
Pertumbuhan perdagangan membawa banyak barang ke Eropa yang
sebelumnya tidak mereka kenal atau amat jarang ditemukan dan sangat
mahal. Barang-barang ini termasuk berbagai macam rempah-rempah,
gading,
batu-batu
mulia, teknik pembuatan barang kaca yang maju, bentuk awal dari mesiu, jeruk, apel, hasil-hasil tanaman Asia
lainnya dan banyak lagi.
Keberhasilan untuk melestarikan Katolik
Eropa, bagaimanapun, tidak dapat mengabaikan kejatuhan Kekaisaran
Kristen Byzantium, yang sebagian besar diakibatkan oleh kekerasan
tentara Salib pada Perang Salib Keempat terhadap Kristen Orthodox Timur,
terutama pembersihan yang dilakukan oleh Enrico
Dandolo yang terkenal, penguasa Venesia
dan sponsor Perang Salib Keempat. Tanah Byzantium
adalah negara Kristen yang stabil sejak abad ke-4. Sesudah tentara Salib
mengambil alih Konstantinopel pada tahun 1204, Byzantium tidak pernah
lagi menjadi sebesar atau sekuat sebelumnya dan akhirnya jatuh pada
tahun 1453.
Melihat apa yang terjadi terhadap Byzantium, Perang Salib lebih dapat
digambarkan sebagai perlawanan Katolik Roma terhadap ekspansi Islam, ketimbang
perlawanan Kristen secara utuh terhadap ekspansi Islam. Di lain pihak,
Perang Salib Keempat dapat disebut sebuah anomali. Kita juga dapat
mengambil suatu kompromi atas kedua pendapat di atas, khususnya bahwa
Perang Salib adalah cara Katolik Roma utama dalam menyelamatkan
Katolikisme, yaitu tujuan yang utama adalah memerangi Islam dan tujuan
yang kedua adalah mencoba menyelamatkan ke-Kristen-an, dalam konteks
inilah, Perang Salib Keempat dapat dikatakan mengabaikan tujuan yang
kedua untuk memperoleh bantuan logistik bagi Dandolo untuk mencapai
tujuan yang utama. Meski begitu, Perang Salib Keempat ditentang oleh
Paus pada saat itu dan secara umum dikenang sebagai suatu kesalahan
besar.
Dunia Islam
Perang salib memiliki efek yang buruk tetapi terlokalisir pada dunia
Islam. Dimana persamaan antara “Bangsa Frank” dengan “Tentara Salib” meninggalkan bekas
yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin, seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad
ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan
Pan-Islamisme masih terus
menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur
Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia
Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.
Konsekuensi yang secara jangka panjang menghancurkan tentang perang
salib, menurut ahli sejarah Peter Mansfield, adalah pembentukan mental dunia Islam
yang cenderung menarik diri. Menurut Peter Mansfield, “Diserang dari berbagai arah, dunia
Islam berpaling ke dirinya sendiri. Ia menjadi sangat sensitive dan
defensive……sikap yang tumbuh menjadi semakin buruk seiring dengan
perkembangan dunia, suatu proses dimana dunia Islam merasa dikucilkan,
terus berlanjut.”
Komunitas Yahudi
Ilustrasi dalam Injil Perancis dari tahun 1250 yang menggambarkan
pembantaian orang Yahudi (dikenali dari topinya yakni Judenhut)
oleh tentara Salib Kekerasan tentara Salib terhadap bangsa Yahudi di
kota-kota di Jerman dan Hongaria,
belakangan juga terjadi di Perancis
dan Inggris,
dan pembantaian Yahudi di Palestina
dan Syria menjadi bagian yang penting dalam sejarah Anti-Semit, meski tidak ada satu perang salib
pun yang pernah dikumandangkan melawan Yahudi. Serangan-serangan ini
meninggalkan bekas yang mendalam dan kesan yang buruk pada kedua belah
pihak selama berabad-abad. Posisi sosial bangsa Yahudi di Eropa Barat
semakin merosot dan pembatasan meningkat selama dan sesudah Perang
Salib. Hal ini memuluskan jalan bagi legalisasi Anti-Yahudi
oleh Paus Innocentius III
dan membentuk titik balik bagi Anti-Semit abad pertengahan.
Periode perang salib diungkapkan dalam banyak narasi Yahudi. Di
antara narasi-narasi itu, yang terkenal adalah catatan-catatan Solomon
bar Simson dan Rabbi Eliezer bar Nathan, “The Narrative of The Old
Persecution” yang ditulis oleh Mainz Anonymus dan “Sefer Zekhirah” dan
“The Book of Remembrance” oleh Rabbi Ephrain dari Bonn.
Pegunungan Kaukasus
Di Pegunungan Kaukasus di Georgia,
di dataran tinggi Khevsureti
yang terpencil, ada sebuah suku yang disebut Khevsurs yang
dianggap merupakan keturunan langsung dari sebuah kelompok tentara
salib yang terpisah dari induk pasukannya dan tetap dalam keadaan
terisolasi dengan sebagian budaya perang salib yang masih utuh. Memasuki
abad ke-20, peninggalan dari baju perang, persenjataan dan baju rantai
masih digunakan dan terus diturunkan dalam komunitas tersebut. Ahli
ethnografi Rusia, Arnold
Zisserman, yang menghabiskan 25 tahun (1842 – 1862) di pegunungan
Kaukasus, percaya bahwa kelompok dari dataran tinggi Georgia ini adalah
keturunan dari tentara Salib yang terakhir berdasarkan dari kebiasaan,
bahasa, kesenian dan bukti-bukti yang lain. Penjelajah Amerika Richard
Halliburton melihat dan mencatat kebiasaan suku ini pada tahun
1935.
Referensi
- Carole Hillenbrand, The Crusades, Islamic Perspectives. New York, 2000.
- P.M. Holt, The Age of the Crusades: The Near East from the Eleventh Century to 1517. New York, 1986.
- Hans E. Mayer, The Crusades. Oxford, 1965.
- Jonathan Riley-Smith, The First Crusade and the Idea of Crusading. Philadelphia, 1986.
- Jonathan Riley-Smith, The Oxford History of the Crusades. Oxford, 1995.
- As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa': Sejarah Para Penguasa Islam. Jakarta: Al-Kautsar, 2006. ISBN 979-592-175-4
Posting Komentar